Sabtu, 09 April 2016

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Alla SWT yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya sehingga dapat menyelesaikan makalah ini dengan baik dan tepat pada waktunya. Dalam penyusunan makalah mungkin ada sedikit hambatan. Namun berkat bantuan dukungan dari teman-teman serta bimbingan dari dosen pembimbing, sehingga kami dapat menyelasikan makalah ini dengan baik.

Dengan adanya makalah ini, diharapakan dapat membantu proses pembelajaran dan menambah pengetahuan bagi para pembaca. Penulis juga tidak lupa mengucapkan terima kasih kepada semua pihak atas bantuan, dukungan dan doanya.

Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang membaca makalah ini dan dapat mengetahui tentang sejarah kesehatan dunia dan Indonesia. Makalah ini mungkin kurang sempurna, untuk itu kami mengharap kritik dan saran untuk menyempurnakan makalah ini.


Manado,  April 2015


Penyusun
Josua koirewa





BAB I
PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang
Istilah farmasi klinik mulai muncul pada tahun 1960an di Amerika, dengan penekanan pada fungsi farmasis yang bekerja langsung bersentuhan dengan pasien. Saat itu farmasi klinik merupakan suatu disiplin ilmu dan profesi yang relatif baru, di mana munculnya disiplin ini berawal dari ketidakpuasan atas norma praktek pelayanan kesehatan pada saat itu dan adanya kebutuhan yang meningkat terhadap tenaga kesehatan profesional yang memiliki pengetahuan komprehensif mengenai pengobatan. Gerakan munculnya farmasi klinik dimulai dari University of Michigandan University of Kentucky pada tahun 1960-an (Miller,1981).
Sejak masa Hipocrates (460-370 SM) yang dikenal sebagai “Bapak Ilmu Kedokteran”, belum dikenal adanya profesi Farmasi. Seorang dokter yang mendignosis penyakit, juga sekaligus merupakan seorang “Apoteker” yang menyiapkan obat. Semakin lama masalah penyediaan obat semakin rumit, baik formula maupun pembuatannya, sehingga dibutuhkan adanya suatu keahlian tersendiri.
Pada tahun 1240 M, Raja Jerman Frederick II memerintahkan pemisahan secara resmi antara Farmasi dan Kedokteran dalam dekritnya yang terkenal “Two Silices”. Dari sejarah ini, satu hal yang perlu direnungkan adalah bahwa akar ilmu farmasi dan ilmu kedokteran adalah sama.
Dampak revolusi industri merambah dunia farmasi dengan timbulnya industri-industri obat, sehingga terpisahlah kegiatan farmasi di bidang industri obat dan di bidang “penyedia/peracik” obat ( apotek ). Dalam hal ini keahlian kefarmasian jauh lebih dibutuhkan di sebuah industri farmasi dari pada apotek. Dapat dikatakan bahwa farmasi identik dengan teknologi pembuatan obat.
Buku Pharmaceutical handbook menyatakan bahwa farmasi merupakan bidang yang menyangkut semua aspek obat, meliputi : isolasi/sintesis, pembuatan, pengendalian, distribusi dan penggunaan.
Sedangkan Herfindal dalam bukunya “Clinical Pharmacy and Therapeutics” (1992) menyatakan bahwa Pharmacist harus memberikan “Therapeutic Judgement” dari pada hanya sebagai sumber informasi obat.

1.2  Rumusan Masalah
1.        Apa pengertian farmasi klinik
2.        Bagaimana sejarah farmasi klinik
3.        Apa saja aktivitas farmasi klinik

1.2  Tujuan Penulisan
1.        Mengetahui pengertian farmasi klinik
2.        Mengetahui bagaimana sejarah farmasi klinik
3.        Mengtahui apa saja aktivitas farmasi klinik


BAB II
PEMBAHASAN

2.1  Pengertian Farmasi Klinik
Farmasi klinik merupakan ilmu kefarmasian yang relatif baru berkembang di Indonesia. Istilah farmasi klinik mulai muncul pada tahun 1960-an di Amerika, yaitu suatu disiplin ilmu farmasi yang menekankan fungsi farmasis untuk memberikan asuhan kefarmasian (Pharmaceutical care) kepada pasien. Bertujuan untuk meningkatkan outcome pengobatan. Secara filosofis, tujuan farmasi klinik adalah untuk memaksimalkan efek terapi, meminimalkan resiko, meminimalkan biaya pengobatan, serta menghormati pilihan pasien. Saat ini disiplin ilmu tersebut semakin dibutuhkan dengan adanya paradigma baru tentang layanan kefarmasian yang berorientasi pada pasien. Tenaga farmasi yang bekerja di rumah sakit dan komunitas (apotek, puskesmas, klinik, balai pengobatan dan dimanapun terjadi peresepan ataupun penggunaan obat), harus memiliki kompetensi yang dapat mendukung pelayanan farmasi klinik yang berkualitas.
Clinical Resources and Audit Group (1996) mendefinisikan farmasi klinik sebagai :
“ A discipline concerned with the application of pharmaceutical expertise to help maximise drug efficacy and minimize drug toxicity in individual patients”. 
Menurut Siregar (2004) farmasi klinik didefinisikan sebagai suatu keahlian khas ilmu kesehatan yang bertanggung jawab  untuk memastikan penggunaan obat yang aman dan sesuai dengan kebutuhan pasien, melalui penerapan pengetahuan dan berbagai fungsi terspesialisasi dalam perawatan pasien yang memerlukan pendidikan khusus dan atau pelatihan yang terstruktur. Dapat dirumuskan tujuan farmasi klinik yaitu memaksimalkan efek terapeutik obat, meminimalkan resiko/toksisitas obat, meminimalkan biaya obat.
Kesimpulannya, farmasi klinik merupakan suatu disiplin ilmu kesehatan di mana farmasis memberikan asuhan (“care”; bukan hanya jasa pelayanan klinis) kepada pasien dengan tujuan untuk mengoptimalkan terapi obat dan mempromosikan kesehatan, wellness dan prevensi penyakit.

2.2  Tujuan Farmasi Klinik
1.        Memaksimalkan efek terapeutik
·       Efektivitas terapi meliputi:
·       Ketepatan indikasi
·       Ketepatan pemilihan obat
·       Ketepatan pengaturan dosis sesuai dengan kebutuhan dan kondisi pasien
·       Evaluasi terapi

2.        Meminimalkan resiko
·       Memastikan risiko yang sekecil mungkin bagi pasien
·       Meminimalkan masalah ketidakamanan pemakaian obat meliputi efek samping, dosis, interaksi, dan kontra indikasi

3.   Meminimalkan biaya
Untuk rumah sakit dan pasien
·       Apakah jenis obat yang dipilih adalah yang paling efektif dalam hal biaya dan rasional ?
·       Apakah terjangkau oleh kemampuan pasien atau rumah sakit ?
·       Jika tidak, alternatif jenis obat apa yang memberikan kemanfaatan dan keamanan yang sama ?

4. Menghormati pilihan pasien
·       Keterlibatan pasien dalam proses pengobatan akan menetukan keberhasilan terapi.
·       Hak pasien harus diakui dan diterima semua pihan

2.3  Sejarah Farmasi Klinik
Secara historis, perubahan-perubahan dalam profesi kefarmasian di Inggris, khususnya dalam abad ke-20, dapat dibagi dalam periode/tahap:
2.3.1   Periode / tahap tradisional
Dalam periode tradisional ini, fungsi farmasis yaitu menyediakan, membuat, dan mendistribusikan produk yang berkhasiat obat. Tenaga farmasi sangat dibutuhkan di apotek sebagai peracik obat. Periode ini mulai mulai goyah saat terjadi revolusi industri dimana terjadi perkembangan pesat di bidang industri tidak terkecuali industri farmasi. Ketika itu sediaan obat jadi dibuat oleh industri farmasi dalam jumlah besar-besaran. Dengan beralihnya sebagian besar pembuatan obat oleh industri maka fungsi dan tugas farmasis berubah. Dalam pelayanan resep dokter, farmasis tidak lagi banyak berperan pada peracikan obat karena obat yang tertulis di resep sudah bentuk obat jadi yang tinggal diserahkan kepada pasien. Dengan demikian peran profesi kefarmasian makin menyempit.

2.3.2   Tahap Transisional (1960-1970)
Perkembangan-perkembangan dan kecenderungan tahun 1960-an/1970-an
a.         Ilmu kedokteran cenderung semakin spesialistis
Kemajuan dalam ilmu kedokteran yang pesat, khusunya dalam bidang farmakologi dan banyaknya macam obat yang mulai membanjiri dunia menyebabkan para dokter merasa ketinggalan dalam ilmunya. Selain ini kemajuan dalam ilmu diagnosa, aalat-alat diagnosa baru serta penyakit-penyakit yang baru muncul (atau yangbaru dapat didefinisikan) membingungkan para dokter. Satu profesi tiadak dapat lagi menangani semua pengetahuan yang berkembang dengan pesat.
b.        Obat-obat baru yang efektif secara terapeutik berkembang pesat sekali dalam dekade-dekade tersebut. Akan tetapi keuntungan dari segi terapi ini membawa masalah-masalah tersendiri dengan meningkatnya pula masalah baru yang menyangkut obat; antara lain efek samping obat, teratogenesis, interaksi obat-obat, interaksi obat-makanan, dan interaksi obat-uji laboratorium.
c.         Meningkatnya biaya kesehatan sektor publik amtara lain disebabkan oleh penggunaan teknologi canggih yang mahal, meningkatnya permintaan pelayanan kesehatan secara kualitatif maupun kuantitatif, serta meningkatnya jumlah penduduk lansia dalam struktur demografi di negara-negara maju, seperti Inggris. Karena tekanan biaya kesehatan yang semakin mahal, pemerintah melakuakn berbagai kebijakan untuk meningkatkan efektifitas biaya (cost-effectiveness), termasuk dalam hal belanja obat (drugs expenditure).
d.        Tuntunan masyarakat untuk pelayanan medis dan farmasi yang bermutu tinggi disertai tuntunan pertanggungjawaban peran para dokter dan farmasis, sampai gugatan atas setiap kekurangan atau kesalahan pengobatan.
Kecenderungan-kecenderungan tersebut terjadi secara paralel dengan perubahan peranan farmasis yang semakin sempit. Banyak orang mempertanyakan peranan farmasis yang overtrained dan underutilised, yaitu pendidikan yang tinggi akan tetapi tidak dimanfaatkan sesuai dengan pendidikan mereka. Situasi ini memunculkan perkembangan farmasi bangsal (ward pharmacy) atau farmasi klinis (clinical pharmacy).
Farmasi klinis lahir pada tahun 1960-an di Amerika Serikat dan Inggris dalam periode transisi ini. Masa transisi ini adalah masa perubahan yang cepat dari perkembangan fungsi dan peningkatan jenis-jenis pelayanan profesional yang dilakukan oleh bebrapa perintis dan sifatnya masih individual. Yang paling menonjol adalah kehadiran farmasis di ruang rawat rumah sakit, meskipun masukan mereka masih terbatas. Banyak farmasis mulai mengembangkan fungsi-fungsi baru dan mencoba menerapkannya. Akan tetapi tampaknya, perkembangannya masih cukup lambat. Diantara para dokter, farmasis dan perawat, ada yang mendukung, tetapi adapula yang menolaknya.

2.3.3   Tahap Masa Kini
Pada periode ini mulai terjadi pergeseran paradigma yang semula pelayanan farmasi berorientasi pada produk, beralih ke pelayanan farmasi yang berorientasi lebih pada pasien. Farmasis ditekankan pada kemampuan memberian pelayanan pengobatan rasional. Terjadi perubahan yang mencolok pada praktek kefarmasian khususnya di rumah sakit, yaitu dengan ikut sertanya tenaga farmasi di bangsal dan terlibat langsung dalam pengobatan pasien. 
Karakteristik pelayanan farmasi klinik di rumah sakit adalah :
·       Berorientasi kepada pasien
·       Terlibat langsung di ruang perawatan di rumah sakit (bangsal)
·       Bersifat pasif, dengan melakukan intervensi setelah pengobatan dimulai dan memberi informasi bila diperlukan
·       Bersifat aktif, dengan memberi  masukan kepada dokter sebelum pengobatan dimulai, atau menerbitkan buletin informasi obat atau pengobatan
·       Bertanggung jawab atas semua saran atau tindakan yang dilakukan
·       Menjadi mitra dan pendamping dokter.

Dalam sistem pelayanan kesehatan  pada konteks farmasi klinik, farmasis adalah ahli pengobatan dalam terapi. Mereka bertugas melakukan evalusi pengobatan dan memberikan rekomendasi pengobatan, baik kepada pasien maupun tenaga kesehatan lain. Farmasis merupakan sumber utama informasi ilmiah terkait dengan penggunaan obat yang aman, tepat dan cost effective.

2.3.4   Tahap Masa Depan Pelayanan Kefarmasian (Pharmaceutical Care)
Gagasan ini masih dalam proses perkembangan. Diberikan disini untuk perluasan wawasan karena kita akan sering mendengar konsep ini. Pelayanan kefarmasiaan (Pharmaceutical Care) didefinisikan oleh Cipolle, Strand, dan Morley (1998) sebagai: “A practice in which the practitioner takes responsibility for a patient’s drug therapy needs, and is held accountable for this commitment”. Dalam prakteknya, tanggung jawab terapi obat diwujudkan pada pencapaian hasil positif bagi pasien.
Proses pelayanan kefarmasian dapat dibagi menjadi tiga komponen, yaitu;
1.        Penilaian (assessment): untuk menjamin bahwa semua terapi obat yang diiberikan kepada pasien terindikasikan, berkasiat, aman dan sesuai serta untuk mengidentifikasi setiap masalah terapi obat yang muncul, atau memerlikan pencegahan dini.
2.        Pengembangan perencanaan perawatan (Development of a Care Plan):secara bersama – sama, pasien dan praktisi membuat suatu perencanaan untuk menyelesaikan dan mencegah masalah terapi obat dan untuk mencapai tujuan terapi. Tujuan ini (dan intervensi) didesain untuk:
·       Menyelesaikan setiap masalah terapi yang muncul
·        Mencapai tujuan terapi individual
·       Mencegah masalah terapi obat yang potensial terjadi kemudian
3.        Evaluasi: mencatat hasil terapi, untuk mengkaji perkembangan dalam pencapaian tujuan terapi dan menilai kembali munculnya masalah baru.
Ketiga tahap proses ini terjadi secara terus – menerus bagi seorang pasien.

Konsep perencanaan pelayanan kefarmasian telah dirangkai oleh banyak praktisi farmasi klinis. Meskipun definisi pelayanan kefarmasian telah diterapkan secara berbeda dalam negara yang berbeda, gagasan dasar  adalah farmasis bertanggungjawab terhadap hasil penggunaan obat oleh/untuk pasien sama seperti seorang dokter atau perawat bertanggungjawab terhadap pelayanan medis dan keperawatan yang mereka berikan. Dengan kata lain, praktek ini berorientasi pada pelayanan yang terpusat kepada pasien dan tanggungjawab farmasis terhadap morbiditas dan mortalitas yang berkaitan dengan obat. 

2.4    Farmasi Klinik diberbagai Belahan Dunia
2.4.1   Farmasi Klinik di Eropa
Gerakan farmasi klinik di Eropa mulai menggeliat dengan didirikannyaEuropean Society of Clinical Pharmacy (ESCP) pada tahun 1979 (Leufkens et al, 1997). Sejak itu terjadi perdebatan yang terus menerus mengenai tujuan, peran dan nilai tambah farmasi klinik terhadap pelayanan pasien. Pada tahun 1983, ESCP mengkompilasi dokumen pendidikan berisi persyaratan dan standar untuk keahlian dan ketrampilan seorang farmasis klinik (ESCP, 1983).  Pada tahun itu, Federation Internationale Pharmaceutique (FIP) mempublika­sikan prosiding simposium bertemakan ‘Roles and Responsibilities of the Pharmacists in Primary Health Care’di mana berhasil disimpulkan peran klinis seorang farmasis (Breimer et al, 1983). Sejak itu, World Health Organisation (WHO) dan berbagai institusi lain mulai mengenal dan memperjuangkan farmasis sebagai tenaga pelayanan kesehatan yang strategis (Lunde dan Dukes, 1989). Pada tahun 1992,
ESCP mempublikasikan “The Future of Clinical Pharmacy in Europe” yang merefleksikan perubahan cepat tentang peran farmasi di dalam sistem pelayanan kesehatan (Bonal et al, 1993). Perubahan tersebut terjadi secara universal di berbagai negara, dan itu terkait dengan perkembangan teknologi kesehatan, ekonomi kesehatan, informatika, sosial ekonomi, dan hubungan profesional (Waldoet al, 1991).
Menurut ESCP, farmasi klinik merupakan pelayanan yang diberikan oleh apoteker di RS, apotek, perawatan di rumah, klinik, dan di manapun, dimana terjadi peresepan dan penggunaan obat. Adapun tujuan secara menyeluruh aktivitas farmasi klinik adalah meningkat­kan penggunaan obat yang tepat dan rasional, dan hal ini berarti:
·       Memaksimalkan efek pengobatan yaitu penggunaan obat yang paling efektif untuk setiap kondisi tertentu pasien.
·       Meminimalkan risiko terjadinya adverse effect, yaitu dengan cara memantau terapi dan kepatuhan pasien terhadap terapi.
·       Meminimalkan biaya pengobatan yang harus dikeluarkan oleh pasien atau pemerintah (ESCP, 2009).
Walaupun demikian, perkembangan pelayanan farmasi klinik tidaklah sama di semua negara Eropa. Inggris merupakan negara di Eropa yang paling lama menerapkan farmasi klinik. Sebagian besar penelitian tentang peran penting farmasi klinik dalam pelayanan kesehatan sebagian besar diperoleh dari pengalaman di Amerika dan Inggris.

2.4.2 Farmasi Klinik di Australia
Di Australia, 90% rumah sakit swasta dan 100% rumah sakit pemerintah memberikan pelayanan farmasi klinik. Organisasi profesi utama yang mewadahi farmasis yang bekerja di RS di Australia adalah The Society of Hospital Pharmacists of Australia (SHPA), yang didirikan pada tahun 1941. Pada tahun 1996, SHPA mempublikasikan Standar Pelayanan Farmasi Klinik yang menjadi referensi utama pemberian pelayanan farmasi klinik di Australia.
Komponen fundamental dari standar ini adalah pernyataan tentang tujuan farmasi klinik dan dokumentasi dari aktivitas farmasi klinik terpilih. Standar ini juga digunakan dalam pengembangan kebijakan pemerintah dalam akreditasi pelayanan farmasi klinik di Australia, dan juga sebagai standar untuk pendidikan farmasi, baik di tingkat S1 maupun pasca sarjana (DiPiro, 2002)
2.4.3 Farmasi Klinik di Indonesia
Praktek pelayanan farmasi klinik di Indonesia relatif baru berkembang pada tahun 2000-an, dimulai dengan adanya beberapa sejawat farmasis yang belajar farmasi klinik di berbagai institusi pendidikan di luar negeri. Belum sepenuhnya penerimaan konsep farmasi klinik oleh tenaga kesehatan di RS merupakan salah satu faktor lambatnya perkembangan pelayanan farmasi klinik di Indonesia.
Masih dianggap atau merupakan keganjilan jika apoteker yang semula berfungsi menyiapkan obat di Instalasi Farmasi RS, kemudian ikut masuk ke bangsal perawatan dan memantau perkembangan pengobatan pasien, apalagi jika turut memberikan rekomendasi pengobatan, seperti yang lazim terjadi di negara maju. Farmasis sendiri selama ini terkesan kurang menyakinkan untuk bisa memainkan peran dalam pengobatan. Hal ini kemungkinan besar disebabkan oleh sejarah pendidikan farmasi yang bersifat monovalen dengan muatan sains yang masih cukup besar (sebelum tahun 2001), sementara pendidikan ke arah klinik masih sangat terbatas, sehingga menyebabkan farmasis merasa gamang berbicara tentang penyakit dan pengobatan
Sebagai informasi, sejak tahun 2001, pendidikan farmasi di Indonesia, khususnya di UGM, telah mengakomodasi ilmu-ilmu yang diperlukan dalam pelayanan farmasi klinik, seperti patofisiologi, farmakoterapi, dll. dengan adanya minat studi Farmasi Klinik dan Komunitas.
Bersamaan dengan itu, mulai tahun 2001, berhembus angin segar dalam pelayanan kefarmasian di Indonesia. Saat itu terjadi restrukturisasi pada organisasi Departemen Kesehatan di mana dibentuk Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan, dengan Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik di bawahnya, yang mengakomodasi pekerjaan kefarmasian sebagai salah satu pelayanan kesehatan utama, tidak sekedar sebagai penunjang. Menangkap peluang itu, Fakultas Farmasi UGM termasuk menjadi salah satu pioner dalam pendidikan Farmasi Klinik dengan dibukanya Program Magister Farmasi Klinik. Di sisi lain, beberapa sejawat farmasis rumah sakit di Indonesia mulai melakukan kegiatan pelayanan farmasi klinik, walaupun masih terbatas. Namun demikian, bukan berarti perkembangan farmasi klinik serta merta meningkat pesat, bahkan perkembangannya masih jauh dari harapan. Kasus Prita di sebuah RS di Tangerang yang cukup menghebohkan beberapa saat lalu merupakan salah satu cermin bahwa pelayanan kesehatan di Indonesia masih harus ditingkatkan, dan farmasis klinik mestinya bisa mengambil peran mencegah kejadian serupa.  Kiranya ke depan, perlu dilakukan upaya-upaya strategis untuk membuktikan kepada pemegang kebijakan dan masyarakat luas bahwa adanya pelayanan farmasi langsung kepada pasien akan benar-benar meningkatkan outcome terapi bagi pasien, seperti yang diharapkan ketika gerakan farmasi klinik ini dimulai. 

2.5  Macam – Macam Aktivitas Farmasi Klinik
Walaupun ada sedikit variasi di berbagai negara, pada prinsipnya aktivitas farmasi klinik meliputi :
1.        Pemantauan pengobatan. 
Hal ini dilakukan dengan menganalisis terapi, memberikan advis kepada praktisi kesehatan tentang kebenaran pengobatan, dan memberikan pelayanan kefarmasian pada pasien secara langsung
2.        Seleksi obat. 
Aktivitas ini dilakukan dengan bekerja sama dengan dokter dan pemegang kebijakan di bidang obat dalam penyusunan formularium obat atau daftar obat yang digunakan.
3.        Pemberian informasi obat. 
Farmasis bertanggug-jawab mencari informasi dan melakukan evaluasi literatur ilmiah secara kritis, dan kemudian mengatur pelayanan informasi obat untuk praktisi pelayanan kesehatan dan pasien
4.        Penyiapan dan peracikan obat. 
Farmasis bertugas menyiapkan dan meracik obat sesuai dengan standar dan kebutuhan pasien
5.        Penelitian dan studi penggunaan obat. 
Kegiatan farmasi klinik antara lain meliputi studi penggunaan obat, farmakoepidemio- logi, farmakovigilansi, dan farmakoekonomi.
6.        Therapeutic drug monitoring (TDM). 
Farmasi klinik bertugas menjalankan pemantauan kadar oba
7.        Uji klinik. 
Farmasis juga terlibat dalam perencanaan dan evaluasi obat, serta berpartisipasi dalam uji klinik.
8.        Pendidikan dan pelatihan, terkait dengan pelayanan kefarmasian.
Semua yang dipaparkan di atas adalah gambaran perkembangan profesi farmasi, khususnya farmasi klinik, yang terjadi di beberapa belahan dunia.

BAB III
PENUTUP

3.1    Kesimpulan
Farmasi klinik merupakan ilmu kefarmasian yang relatif baru berkembang di Indonesia. Istilah farmasi klinik mulai muncul pada tahun 1960-an di Amerika, yaitu suatu disiplin ilmu farmasi yang menekankan fungsi farmasis untuk memberikan asuhan kefarmasian (Pharmaceutical care) kepada pasien. Bertujuan untuk meningkatkan outcome pengobatan.
Secara filosofis, tujuan farmasi klinik adalah untuk memaksimalkan efek terapi, meminimalkan resiko, meminimalkan biaya pengobatan, serta menghormati pilihan pasien. Saat ini disiplin ilmu tersebut semakin dibutuhkan dengan adanya paradigma baru tentang layanan kefarmasian yang berorientasi pada pasien. Tenaga farmasi yang bekerja di rumah sakit dan komunitas (apotek, puskesmas, klinik, balai pengobatan dan dimanapun terjadi peresepan ataupun penggunaan obat), harus memiliki kompetensi yang dapat mendukung pelayanan farmasi klinik yang berkualitas.

3.2  Saran
Pada umumnya apoteker sekarang masih kurang peduli dalam memberikan penyuluhan atau pemahaman terhadap pasien mengenai obat, tata cara penggunaan dan indikasi obat. Dalam prakteknya, apoteker hanya melayani resep obat kemudian menyerahkannya kepada pasien, padahal tujuan utama tugas apoteker bukan hanya itu. Apoteker wajib memberikan pemahaman atau penyuluhan mengenai obat yang telah apoteker berikan kepada pasiennya.  Karena itulah Apoteker harus memiliki rasa peduli kepada pasiennya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar