KATA
PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Alla SWT yang telah
melimpahkan rahmat dan karunia-Nya sehingga dapat menyelesaikan makalah ini
dengan baik dan tepat pada waktunya. Dalam penyusunan makalah mungkin ada
sedikit hambatan. Namun berkat bantuan dukungan dari teman-teman serta
bimbingan dari dosen pembimbing, sehingga kami dapat menyelasikan makalah ini
dengan baik.
Dengan adanya makalah ini, diharapakan
dapat membantu proses pembelajaran dan menambah pengetahuan bagi para pembaca.
Penulis juga tidak lupa mengucapkan terima kasih kepada semua pihak atas
bantuan, dukungan dan doanya.
Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi
semua pihak yang membaca makalah ini dan dapat mengetahui tentang sejarah
kesehatan dunia dan Indonesia. Makalah ini mungkin kurang sempurna, untuk itu
kami mengharap kritik dan saran untuk menyempurnakan makalah ini.
Manado, April 2015
Penyusun
Josua koirewa
BAB
I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Istilah farmasi
klinik mulai muncul pada tahun 1960an di Amerika, dengan penekanan
pada fungsi farmasis yang bekerja langsung bersentuhan dengan pasien. Saat itu
farmasi klinik merupakan suatu disiplin ilmu dan profesi yang relatif baru, di
mana munculnya disiplin ini berawal dari ketidakpuasan atas norma praktek
pelayanan kesehatan pada saat itu dan adanya kebutuhan yang meningkat terhadap
tenaga kesehatan profesional yang memiliki pengetahuan komprehensif mengenai
pengobatan. Gerakan munculnya farmasi klinik dimulai dari University of
Michigandan University of Kentucky pada tahun 1960-an
(Miller,1981).
Sejak masa Hipocrates
(460-370 SM) yang dikenal sebagai “Bapak Ilmu Kedokteran”, belum dikenal adanya
profesi Farmasi. Seorang dokter yang mendignosis penyakit, juga sekaligus
merupakan seorang “Apoteker” yang menyiapkan obat. Semakin lama masalah
penyediaan obat semakin rumit, baik formula maupun pembuatannya, sehingga
dibutuhkan adanya suatu keahlian tersendiri.
Pada tahun 1240 M, Raja
Jerman Frederick II memerintahkan pemisahan secara resmi antara Farmasi dan
Kedokteran dalam dekritnya yang terkenal “Two Silices”. Dari sejarah ini, satu
hal yang perlu direnungkan adalah bahwa akar ilmu farmasi dan ilmu kedokteran
adalah sama.
Dampak revolusi industri
merambah dunia farmasi dengan timbulnya industri-industri obat, sehingga
terpisahlah kegiatan farmasi di bidang industri obat dan di bidang
“penyedia/peracik” obat ( apotek ). Dalam hal ini keahlian kefarmasian jauh
lebih dibutuhkan di sebuah industri farmasi dari pada apotek. Dapat dikatakan
bahwa farmasi identik dengan teknologi pembuatan obat.
Buku Pharmaceutical
handbook menyatakan bahwa farmasi merupakan bidang yang menyangkut semua aspek
obat, meliputi : isolasi/sintesis, pembuatan, pengendalian, distribusi dan
penggunaan.
Sedangkan Herfindal dalam
bukunya “Clinical Pharmacy and Therapeutics” (1992) menyatakan bahwa Pharmacist
harus memberikan “Therapeutic Judgement” dari pada hanya sebagai sumber
informasi obat.
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa
pengertian farmasi klinik
2. Bagaimana
sejarah farmasi klinik
3. Apa
saja aktivitas farmasi klinik
1.2 Tujuan Penulisan
1. Mengetahui
pengertian farmasi klinik
2. Mengetahui
bagaimana sejarah farmasi klinik
3. Mengtahui
apa saja aktivitas farmasi klinik
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian
Farmasi Klinik
Farmasi
klinik merupakan ilmu kefarmasian yang relatif baru berkembang di Indonesia.
Istilah farmasi klinik mulai muncul pada tahun 1960-an di Amerika, yaitu suatu
disiplin ilmu farmasi yang menekankan fungsi farmasis untuk memberikan asuhan
kefarmasian (Pharmaceutical care) kepada pasien. Bertujuan untuk meningkatkan
outcome pengobatan. Secara filosofis, tujuan farmasi klinik adalah untuk
memaksimalkan efek terapi, meminimalkan resiko, meminimalkan biaya pengobatan,
serta menghormati pilihan pasien. Saat ini disiplin ilmu tersebut semakin
dibutuhkan dengan adanya paradigma baru tentang layanan kefarmasian yang
berorientasi pada pasien. Tenaga farmasi yang bekerja di rumah sakit dan
komunitas (apotek, puskesmas, klinik, balai pengobatan dan dimanapun terjadi
peresepan ataupun penggunaan obat), harus memiliki kompetensi yang dapat
mendukung pelayanan farmasi klinik yang berkualitas.
Clinical
Resources and Audit Group (1996) mendefinisikan farmasi klinik sebagai :
“ A discipline concerned with the application of pharmaceutical
expertise to help maximise drug efficacy and minimize drug toxicity in
individual patients”.
Menurut
Siregar (2004) farmasi klinik didefinisikan sebagai suatu keahlian khas ilmu
kesehatan yang bertanggung jawab untuk memastikan penggunaan obat yang aman
dan sesuai dengan kebutuhan pasien, melalui penerapan pengetahuan dan berbagai
fungsi terspesialisasi dalam perawatan pasien yang memerlukan pendidikan khusus
dan atau pelatihan yang terstruktur. Dapat dirumuskan tujuan farmasi klinik
yaitu memaksimalkan efek terapeutik obat, meminimalkan resiko/toksisitas obat,
meminimalkan biaya obat.
Kesimpulannya,
farmasi klinik merupakan suatu disiplin ilmu kesehatan di mana
farmasis memberikan asuhan (“care”; bukan hanya jasa pelayanan
klinis) kepada pasien dengan tujuan untuk mengoptimalkan terapi obat dan
mempromosikan kesehatan, wellness dan prevensi penyakit.
2.2 Tujuan Farmasi Klinik
1. Memaksimalkan
efek terapeutik
· Efektivitas
terapi meliputi:
· Ketepatan
indikasi
· Ketepatan
pemilihan obat
· Ketepatan
pengaturan dosis sesuai dengan kebutuhan dan kondisi pasien
· Evaluasi
terapi
2. Meminimalkan
resiko
· Memastikan
risiko yang sekecil mungkin bagi pasien
· Meminimalkan
masalah ketidakamanan pemakaian obat meliputi efek samping, dosis, interaksi,
dan kontra indikasi
3. Meminimalkan biaya
Untuk rumah sakit dan pasien
· Apakah
jenis obat yang dipilih adalah yang paling efektif dalam hal biaya dan rasional
?
· Apakah
terjangkau oleh kemampuan pasien atau rumah sakit ?
· Jika
tidak, alternatif jenis obat apa yang memberikan kemanfaatan dan keamanan yang
sama ?
4. Menghormati pilihan pasien
· Keterlibatan
pasien dalam proses pengobatan akan menetukan keberhasilan terapi.
· Hak
pasien harus diakui dan diterima semua pihan
2.3 Sejarah Farmasi Klinik
Secara historis,
perubahan-perubahan dalam profesi kefarmasian di Inggris, khususnya dalam abad
ke-20, dapat dibagi dalam periode/tahap:
2.3.1 Periode
/ tahap tradisional
Dalam periode tradisional
ini, fungsi farmasis yaitu menyediakan, membuat, dan mendistribusikan produk
yang berkhasiat obat. Tenaga farmasi sangat dibutuhkan di apotek sebagai
peracik obat. Periode ini mulai mulai goyah saat terjadi revolusi industri
dimana terjadi perkembangan pesat di bidang industri tidak terkecuali industri
farmasi. Ketika itu sediaan obat jadi dibuat oleh industri farmasi dalam jumlah
besar-besaran. Dengan beralihnya sebagian besar pembuatan obat oleh industri
maka fungsi dan tugas farmasis berubah. Dalam pelayanan resep dokter, farmasis
tidak lagi banyak berperan pada peracikan obat karena obat yang tertulis di
resep sudah bentuk obat jadi yang tinggal diserahkan kepada pasien. Dengan
demikian peran profesi kefarmasian makin menyempit.
2.3.2 Tahap
Transisional (1960-1970)
Perkembangan-perkembangan dan kecenderungan
tahun 1960-an/1970-an
a. Ilmu
kedokteran cenderung semakin spesialistis
Kemajuan dalam ilmu kedokteran yang pesat,
khusunya dalam bidang farmakologi dan banyaknya macam obat yang mulai
membanjiri dunia menyebabkan para dokter merasa ketinggalan dalam ilmunya.
Selain ini kemajuan dalam ilmu diagnosa, aalat-alat diagnosa baru serta
penyakit-penyakit yang baru muncul (atau yangbaru dapat didefinisikan)
membingungkan para dokter. Satu profesi tiadak dapat lagi menangani semua
pengetahuan yang berkembang dengan pesat.
b. Obat-obat
baru yang efektif secara terapeutik berkembang pesat sekali dalam dekade-dekade
tersebut. Akan tetapi keuntungan dari segi terapi ini membawa masalah-masalah
tersendiri dengan meningkatnya pula masalah baru yang menyangkut obat; antara
lain efek samping obat, teratogenesis, interaksi obat-obat, interaksi
obat-makanan, dan interaksi obat-uji laboratorium.
c. Meningkatnya
biaya kesehatan sektor publik amtara lain disebabkan oleh penggunaan teknologi
canggih yang mahal, meningkatnya permintaan pelayanan kesehatan secara
kualitatif maupun kuantitatif, serta meningkatnya jumlah penduduk lansia dalam
struktur demografi di negara-negara maju, seperti Inggris. Karena tekanan biaya
kesehatan yang semakin mahal, pemerintah melakuakn berbagai kebijakan untuk
meningkatkan efektifitas biaya (cost-effectiveness), termasuk dalam hal belanja
obat (drugs expenditure).
d. Tuntunan
masyarakat untuk pelayanan medis dan farmasi yang bermutu tinggi disertai
tuntunan pertanggungjawaban peran para dokter dan farmasis, sampai gugatan atas
setiap kekurangan atau kesalahan pengobatan.
Kecenderungan-kecenderungan
tersebut terjadi secara paralel dengan perubahan peranan farmasis yang semakin
sempit. Banyak orang mempertanyakan peranan farmasis yang overtrained dan
underutilised, yaitu pendidikan yang tinggi akan tetapi tidak dimanfaatkan
sesuai dengan pendidikan mereka. Situasi ini memunculkan perkembangan farmasi
bangsal (ward pharmacy) atau farmasi klinis (clinical pharmacy).
Farmasi klinis lahir pada
tahun 1960-an di Amerika Serikat dan Inggris dalam periode transisi ini. Masa
transisi ini adalah masa perubahan yang cepat dari perkembangan fungsi dan
peningkatan jenis-jenis pelayanan profesional yang dilakukan oleh bebrapa
perintis dan sifatnya masih individual. Yang paling menonjol adalah kehadiran
farmasis di ruang rawat rumah sakit, meskipun masukan mereka masih terbatas.
Banyak farmasis mulai mengembangkan fungsi-fungsi baru dan mencoba
menerapkannya. Akan tetapi tampaknya, perkembangannya masih cukup lambat.
Diantara para dokter, farmasis dan perawat, ada yang mendukung, tetapi adapula
yang menolaknya.
2.3.3 Tahap
Masa Kini
Pada periode ini mulai
terjadi pergeseran paradigma yang semula pelayanan farmasi berorientasi pada
produk, beralih ke pelayanan farmasi yang berorientasi lebih pada pasien.
Farmasis ditekankan pada kemampuan memberian pelayanan pengobatan rasional.
Terjadi perubahan yang mencolok pada praktek kefarmasian khususnya di rumah
sakit, yaitu dengan ikut sertanya tenaga farmasi di bangsal dan terlibat
langsung dalam pengobatan pasien.
Karakteristik pelayanan farmasi klinik di
rumah sakit adalah :
· Berorientasi
kepada pasien
· Terlibat
langsung di ruang perawatan di rumah sakit (bangsal)
· Bersifat
pasif, dengan melakukan intervensi setelah pengobatan dimulai dan memberi
informasi bila diperlukan
· Bersifat
aktif, dengan memberi masukan kepada dokter sebelum pengobatan dimulai,
atau menerbitkan buletin informasi obat atau pengobatan
· Bertanggung
jawab atas semua saran atau tindakan yang dilakukan
· Menjadi
mitra dan pendamping dokter.
Dalam sistem pelayanan
kesehatan pada konteks farmasi klinik, farmasis adalah ahli pengobatan
dalam terapi. Mereka bertugas melakukan evalusi pengobatan dan memberikan
rekomendasi pengobatan, baik kepada pasien maupun tenaga kesehatan lain.
Farmasis merupakan sumber utama informasi ilmiah terkait dengan penggunaan obat
yang aman, tepat dan cost effective.
2.3.4 Tahap
Masa Depan Pelayanan Kefarmasian (Pharmaceutical Care)
Gagasan ini masih dalam
proses perkembangan. Diberikan disini untuk perluasan wawasan karena kita akan
sering mendengar konsep ini. Pelayanan kefarmasiaan (Pharmaceutical Care)
didefinisikan oleh Cipolle, Strand, dan Morley (1998) sebagai: “A practice in
which the practitioner takes responsibility for a patient’s drug therapy needs,
and is held accountable for this commitment”. Dalam prakteknya, tanggung jawab
terapi obat diwujudkan pada pencapaian hasil positif bagi pasien.
Proses pelayanan kefarmasian dapat dibagi
menjadi tiga komponen, yaitu;
1. Penilaian
(assessment):
untuk menjamin bahwa semua terapi obat yang diiberikan kepada pasien
terindikasikan, berkasiat, aman dan sesuai serta untuk mengidentifikasi setiap
masalah terapi obat yang muncul, atau memerlikan pencegahan dini.
2. Pengembangan
perencanaan perawatan (Development of a Care Plan):secara bersama – sama,
pasien dan praktisi membuat suatu perencanaan untuk menyelesaikan dan mencegah
masalah terapi obat dan untuk mencapai tujuan terapi. Tujuan ini (dan
intervensi) didesain untuk:
· Menyelesaikan
setiap masalah terapi yang muncul
· Mencapai
tujuan terapi individual
· Mencegah
masalah terapi obat yang potensial terjadi kemudian
3. Evaluasi: mencatat
hasil terapi, untuk mengkaji perkembangan dalam pencapaian tujuan terapi dan
menilai kembali munculnya masalah baru.
Ketiga tahap proses ini terjadi secara
terus – menerus bagi seorang pasien.
Konsep perencanaan
pelayanan kefarmasian telah dirangkai oleh banyak praktisi farmasi klinis.
Meskipun definisi pelayanan kefarmasian telah diterapkan secara berbeda dalam
negara yang berbeda, gagasan dasar adalah farmasis bertanggungjawab
terhadap hasil penggunaan obat oleh/untuk pasien sama seperti seorang dokter
atau perawat bertanggungjawab terhadap pelayanan medis dan keperawatan yang
mereka berikan. Dengan kata lain, praktek ini berorientasi pada pelayanan yang
terpusat kepada pasien dan tanggungjawab farmasis terhadap morbiditas dan
mortalitas yang berkaitan dengan obat.
2.4 Farmasi
Klinik diberbagai Belahan Dunia
2.4.1 Farmasi
Klinik di Eropa
Gerakan farmasi klinik di
Eropa mulai menggeliat dengan didirikannyaEuropean Society of Clinical
Pharmacy (ESCP) pada tahun 1979 (Leufkens et al, 1997).
Sejak itu terjadi perdebatan yang terus menerus mengenai tujuan, peran dan
nilai tambah farmasi klinik terhadap pelayanan pasien. Pada tahun 1983, ESCP
mengkompilasi dokumen pendidikan berisi persyaratan dan standar untuk keahlian
dan ketrampilan seorang farmasis klinik (ESCP, 1983). Pada tahun
itu, Federation Internationale Pharmaceutique (FIP) mempublikasikan
prosiding simposium bertemakan ‘Roles and Responsibilities of the
Pharmacists in Primary Health Care’di mana berhasil disimpulkan peran
klinis seorang farmasis (Breimer et al, 1983). Sejak itu, World Health
Organisation (WHO) dan berbagai institusi lain mulai mengenal dan
memperjuangkan farmasis sebagai tenaga pelayanan kesehatan yang strategis
(Lunde dan Dukes, 1989). Pada tahun 1992,
ESCP mempublikasikan “The
Future of Clinical Pharmacy in Europe” yang merefleksikan perubahan
cepat tentang peran farmasi di dalam sistem pelayanan kesehatan (Bonal et
al, 1993). Perubahan tersebut terjadi secara universal di berbagai negara,
dan itu terkait dengan perkembangan teknologi kesehatan, ekonomi kesehatan,
informatika, sosial ekonomi, dan hubungan profesional (Waldoet al,
1991).
Menurut ESCP, farmasi
klinik merupakan pelayanan yang diberikan oleh apoteker di RS, apotek,
perawatan di rumah, klinik, dan di manapun, dimana terjadi peresepan dan
penggunaan obat. Adapun tujuan secara menyeluruh aktivitas farmasi klinik
adalah meningkatkan penggunaan obat yang tepat dan rasional, dan hal ini
berarti:
· Memaksimalkan
efek pengobatan yaitu penggunaan obat yang paling efektif untuk setiap kondisi
tertentu pasien.
· Meminimalkan
risiko terjadinya adverse effect, yaitu dengan cara memantau
terapi dan kepatuhan pasien terhadap terapi.
· Meminimalkan
biaya pengobatan yang harus dikeluarkan oleh pasien atau pemerintah (ESCP,
2009).
Walaupun demikian,
perkembangan pelayanan farmasi klinik tidaklah sama di semua negara Eropa.
Inggris merupakan negara di Eropa yang paling lama menerapkan farmasi klinik.
Sebagian besar penelitian tentang peran penting farmasi klinik dalam pelayanan
kesehatan sebagian besar diperoleh dari pengalaman di Amerika dan Inggris.
2.4.2 Farmasi Klinik di Australia
Di Australia, 90% rumah
sakit swasta dan 100% rumah sakit pemerintah memberikan pelayanan farmasi
klinik. Organisasi profesi utama yang mewadahi farmasis yang bekerja di RS di
Australia adalah The Society of Hospital Pharmacists of Australia
(SHPA), yang didirikan pada tahun 1941. Pada tahun 1996, SHPA
mempublikasikan Standar Pelayanan Farmasi Klinik yang menjadi referensi utama
pemberian pelayanan farmasi klinik di Australia.
Komponen fundamental dari
standar ini adalah pernyataan tentang tujuan farmasi klinik dan dokumentasi
dari aktivitas farmasi klinik terpilih. Standar ini juga digunakan dalam
pengembangan kebijakan pemerintah dalam akreditasi pelayanan farmasi klinik di
Australia, dan juga sebagai standar untuk pendidikan farmasi, baik di tingkat
S1 maupun pasca sarjana (DiPiro, 2002)
2.4.3 Farmasi Klinik
di Indonesia
Praktek pelayanan farmasi
klinik di Indonesia relatif baru berkembang pada tahun 2000-an, dimulai dengan
adanya beberapa sejawat farmasis yang belajar farmasi klinik di berbagai
institusi pendidikan di luar negeri. Belum sepenuhnya penerimaan konsep farmasi
klinik oleh tenaga kesehatan di RS merupakan salah satu faktor lambatnya
perkembangan pelayanan farmasi klinik di Indonesia.
Masih dianggap atau
merupakan keganjilan jika apoteker yang semula berfungsi menyiapkan obat di
Instalasi Farmasi RS, kemudian ikut masuk ke bangsal perawatan dan memantau
perkembangan pengobatan pasien, apalagi jika turut memberikan rekomendasi
pengobatan, seperti yang lazim terjadi di negara maju. Farmasis sendiri selama
ini terkesan kurang menyakinkan untuk bisa memainkan peran dalam pengobatan.
Hal ini kemungkinan besar disebabkan oleh sejarah pendidikan farmasi yang
bersifat monovalen dengan muatan sains yang masih cukup besar (sebelum tahun
2001), sementara pendidikan ke arah klinik masih sangat terbatas, sehingga menyebabkan
farmasis merasa gamang berbicara tentang penyakit dan pengobatan
Sebagai informasi, sejak
tahun 2001, pendidikan farmasi di Indonesia, khususnya di UGM, telah
mengakomodasi ilmu-ilmu yang diperlukan dalam pelayanan farmasi klinik, seperti
patofisiologi, farmakoterapi, dll. dengan adanya minat studi Farmasi Klinik dan
Komunitas.
Bersamaan dengan itu,
mulai tahun 2001, berhembus angin segar dalam pelayanan kefarmasian di
Indonesia. Saat itu terjadi restrukturisasi pada organisasi Departemen
Kesehatan di mana dibentuk Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat
Kesehatan, dengan Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik di bawahnya,
yang mengakomodasi pekerjaan kefarmasian sebagai salah satu pelayanan kesehatan
utama, tidak sekedar sebagai penunjang. Menangkap peluang itu, Fakultas Farmasi
UGM termasuk menjadi salah satu pioner dalam pendidikan Farmasi Klinik dengan
dibukanya Program Magister Farmasi Klinik. Di sisi lain, beberapa sejawat
farmasis rumah sakit di Indonesia mulai melakukan kegiatan pelayanan farmasi
klinik, walaupun masih terbatas. Namun demikian, bukan berarti perkembangan
farmasi klinik serta merta meningkat pesat, bahkan perkembangannya masih jauh
dari harapan. Kasus Prita di sebuah RS di Tangerang yang cukup menghebohkan
beberapa saat lalu merupakan salah satu cermin bahwa pelayanan kesehatan di
Indonesia masih harus ditingkatkan, dan farmasis klinik mestinya bisa mengambil
peran mencegah kejadian serupa. Kiranya ke depan, perlu dilakukan
upaya-upaya strategis untuk membuktikan kepada pemegang kebijakan dan
masyarakat luas bahwa adanya pelayanan farmasi langsung kepada pasien akan
benar-benar meningkatkan outcome terapi bagi pasien, seperti
yang diharapkan ketika gerakan farmasi klinik ini dimulai.
2.5 Macam – Macam Aktivitas Farmasi
Klinik
Walaupun ada sedikit
variasi di berbagai negara, pada prinsipnya aktivitas farmasi klinik meliputi :
1. Pemantauan
pengobatan.
Hal ini dilakukan dengan menganalisis
terapi, memberikan advis kepada praktisi kesehatan tentang kebenaran pengobatan,
dan memberikan pelayanan kefarmasian pada pasien secara langsung
2. Seleksi
obat.
Aktivitas ini dilakukan dengan bekerja sama
dengan dokter dan pemegang kebijakan di bidang obat dalam penyusunan
formularium obat atau daftar obat yang digunakan.
3. Pemberian
informasi obat.
Farmasis bertanggug-jawab mencari informasi
dan melakukan evaluasi literatur ilmiah secara kritis, dan kemudian mengatur
pelayanan informasi obat untuk praktisi pelayanan kesehatan dan pasien
4. Penyiapan
dan peracikan obat.
Farmasis bertugas menyiapkan dan meracik
obat sesuai dengan standar dan kebutuhan pasien
5. Penelitian
dan studi penggunaan obat.
Kegiatan farmasi klinik antara lain
meliputi studi penggunaan obat, farmakoepidemio- logi, farmakovigilansi, dan
farmakoekonomi.
6. Therapeutic
drug monitoring (TDM).
Farmasi klinik bertugas menjalankan
pemantauan kadar oba
7. Uji
klinik.
Farmasis juga terlibat dalam perencanaan
dan evaluasi obat, serta berpartisipasi dalam uji klinik.
8. Pendidikan
dan pelatihan, terkait dengan pelayanan kefarmasian.
Semua yang dipaparkan di atas adalah
gambaran perkembangan profesi farmasi, khususnya farmasi klinik, yang terjadi
di beberapa belahan dunia.
BAB
III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Farmasi
klinik merupakan ilmu kefarmasian yang relatif baru berkembang di Indonesia.
Istilah farmasi klinik mulai muncul pada tahun 1960-an di Amerika, yaitu suatu
disiplin ilmu farmasi yang menekankan fungsi farmasis untuk memberikan asuhan
kefarmasian (Pharmaceutical care) kepada pasien. Bertujuan untuk meningkatkan
outcome pengobatan.
Secara
filosofis, tujuan farmasi klinik adalah untuk memaksimalkan efek terapi,
meminimalkan resiko, meminimalkan biaya pengobatan, serta menghormati pilihan
pasien. Saat ini disiplin ilmu tersebut semakin dibutuhkan dengan adanya
paradigma baru tentang layanan kefarmasian yang berorientasi pada pasien.
Tenaga farmasi yang bekerja di rumah sakit dan komunitas (apotek, puskesmas,
klinik, balai pengobatan dan dimanapun terjadi peresepan ataupun penggunaan
obat), harus memiliki kompetensi yang dapat mendukung pelayanan farmasi klinik
yang berkualitas.
3.2 Saran
Pada umumnya apoteker
sekarang masih kurang peduli dalam memberikan penyuluhan atau pemahaman
terhadap pasien mengenai obat, tata cara penggunaan dan indikasi obat. Dalam
prakteknya, apoteker hanya melayani resep obat kemudian menyerahkannya kepada
pasien, padahal tujuan utama tugas apoteker bukan hanya itu. Apoteker wajib
memberikan pemahaman atau penyuluhan mengenai obat yang telah apoteker berikan
kepada pasiennya. Karena itulah Apoteker harus memiliki rasa peduli
kepada pasiennya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar